Pembangunan mesjid didesain oleh beberapa tokoh masyarakat setempat, seperti; Angku Gapuak, seorang pedagang dari Pasa Gadang; Angku Syekh Haji Uma, kepala kampung di Pasa Gadang; Angku Syekh Kapalo Koto, ulama dan tokoh agama. Sedang pendanaannya didapat dari donatur dari beberapa daerah, seperti: Aceh, Medan, Sibolga, dan Minangkabau sendiri.
Pembangunan dilakukan oleh masyarakat dengan bergotong royong di bawah pimpinan seorang militer Belanda, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab moral dari pemerintah kolonial Belanda karena telah membongkar mesjid pertama yang berada Batang Arau. Pada tahun 1819, pembangunan masjid tahap awal berhasil diselesaikan yaitu sebuah masjid permanen dengan ukuran 30 x 30 m yang dilengkapi dengan serambi (teras) selebar 4 m. Selanjutnya, pembangunan dilakukan secara bertahap untuk melengkapi bagian yang belum sempurna.
Arsitektur mesjid ini merupakan gabungan dari berbagai corak arsitektur, seperti: Belanda, Persia, Timur Tengah, China dan Minangkabau. Konstruksi masjid terbuat dari bahan bermutu tinggi. Bahan dari kayu, seperti: Kayu Ulin didatangkan dari Bangkinang, Riau; Kayu Rasak didatangkan dari Indrapura; dan Kayu Kapur dari Pasaman.
Sementara komposisi lain, seperti seng, ubin dan semen didatangkan dari Eropa. Untuk bagian interior, seperti mimbar, dibuat dan diukir dengan ukiran Tiongkok yang merupakan sumbangan dari seorang saudagar China yang beragama Islam. Sedangkan lantainya dipasang ubin khusus yang didatangkan dari Jerman yang dibawa oleh perusahaan Belanda pada tahun 1910.
Di samping itu, terdapat 25 tiang penyangga yang bermakna sebagai simbol dari 25 nabi dan rasul, dan juga terdapat beberapa ukiran indah dalam bentuk tulisan kaligrafi yang menghiasai masjid tersebut.
Sumber:Menapak Ranah Minang
Komentar
Posting Komentar