HOYAK TABUIK
Dengan berkendara lebih dari 1 jam dari Kota Padang
atau berjarak sekitar 56 km ke arah utara maka akan Anda temukan kota
kecil bernama Pariaman. Kota ini merupakan daerah pesisir dengan garis
pantai yang indah sepanjang 7 mil. Pariaman yang berarti ‘wilayah aman’ dikenal juga saat ini sebagai tempat perayaan Ashura di Indonesia dengan nama Festival Tabuik.
Festival Tabuik
adalah untuk memperingati kematian dua cucu Nabi Muhammad saw yakni
Hasandan Husein. Hasan wafat diracun sedangkan Husein memimpin pasukan
Muslim untuk bertempur melawan Dinasti Bani Umayah dalam Perang Karbala.
Pertempuran tersebut menewaskan Husein secara mengenaskan dan sebagian
umat Muslim meyakini bahwa jenazah Husein di masukkan ke dalam peti
jenazah (tabuik) kemudian dibawa ke langit menggunakan Bouraq. Peristiwa syahidnyaHusein ini kemudian dikenal sebagai hari Ashura atau Muharram.
Waktu terbaik untuk berkujung ke Pariaman
dan menyaksikan Festival Tabuik adalah sepuluh hari pertama bulan
Muharam (bulan pertama kalender Islam). Anda dapat menyaksikan acara Tabuik tersebut mulai dari persiapannya hingga prosesinya selama 10 hari pertama bulan Muharram.
Kota pelabuhan Pariaman beberapa abad lalu
telah disinggahi pedagang-pedagang dari Nusantara maupun mancanegara.
Saat itu orang Minangkabau di pedalaman Sumatra Barat memproduksi emas,
kertas, madu, kemiri, serta hasil bumi lokal untuk dijual di pelabuhan.
Awal abad ke-17, Sultan Aceh datang untuk mengusai tempat dan berikutnya
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang menguasainya.
Masyarakat Pariaman yang hidup menderita dalam penjajahan kemudian
melakukan pemberontakan selama hampir satu abad untuk memaksa penjajah
meninggalkan tempat yang indah ini.
Sejarah Pariaman sudah dimulai jauh
sebelum kedatangan VOC. Catatan Tome Pires (1446-1524), yaitu pelaut
Portugis dari Kerajaan Portugis di Asia mencatat adanya lalu lintas
perdagangan antara India dan Pariaman, juga antara Tiku dan Barus. Pires
juga mencatat perdagangan kuda di antara orang Batak dengan orang Sunda.
Tahun 1527, dua kapal dagang Prancis
membawa, Jean dan Raoul Parmentier mengunjungi Pariaman dan berlabuh di
Tiku serta Indrapura. Akan tetapi kedatangan mereka tidak meninggalkan
catatan signifikan di wilayah ini. Tanggal 21 November 1600, untuk
pertama kalinya, Belanda datang ke Pariaman dan Tiku di bawah pimpinan
Paulus Van Cardeen yang berlayar ke arah selatan dari Aceh dan Pasaman.
Cornelisde Houtman, salah satu pelaut Belanda juga pernah mengunjungi
Pariaman kemudian pindah keselatan yaitu Sunda Kelapa atau Jakarta
sekarang.
Kata tabuik diambil dari Bahasa Indonesia yaitu ‘tabut’.
Tradisi ini telah berlangsung sejak tahun 1831. Pariaman memiliki peran
besar dalam perkembangan tradisi ini karena menjadi salah satu tempat
di dunia di mana peringatan kematian Hasanbin Ali dan Ali bin Husein
diperingati. Acara Tabuik di Pariaman seperti juga peringatan Ta’ziyeh di Iran untuk memperingati kematian Imam Hussein
Selain sebagainama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah
dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang
berbadan kuda memiliki bersayap dan tubuh tegap berkepala manusia.
Pada hari kesepuluh Muharram, Masyarakat
Pariaman secara tradisional akan berkumpul untuk melihat usungan jenazah
melambangkan peti mati Husein. Secara visual, prosesi ini sangat mirip
tradisi pembakaran jenazah di Bali, hanya saja di Pariaman,tabuik tidak
dibakar pada akhirnya dengan api. Pada akhir acara, Tabuik akan dibawa ke pantai selanjutnya dilarung ke laut. Kepercayaan pelarungan Tabuik ke laut adalah untuk membuang kesialan. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit membawa segala jenis arakan
Komentar
Posting Komentar