Dikatakan: kesenian Minangkabau merupakan
warisan yang dapat menyokong dan melengkapi kesenian lain yang banyak
berada di Indonesia. Aneka kesenian Minangkabau itu adalah randai, Sepak Rago, gamat, kerawitan dan silat.
Walaupun berdarah muda, seorang pendekar doeloenya kaya etika dan kepribadian. Sebab, adagium klasik menukilkan: musuah indak dicari, jikok basuo pantang diilakkan (musuh tidak dicari kalau bertemu pantang dihelakkan). Dalam cabuah (keonaran) yang berkelabat di sebuah kampung misalnya, seorang pendekar tangguh tidaklah manyosoh (tampil)
ke depan untuk meredam konflik. Melainkan membiarkan anak
sa(k)siannya menyelesaikan kegaduhan tersebut. Walau sebuah kesadaran
menyentak di empulur hati seorang pendekar sejati, bahwa kondisi runyam
itu, tidak segampang membalik telapak tangan mengatasinya. Hal itu
merupakan salah satu kode etik plus satu metode pendidikan (method of education) pendekar. Bila keadaan telah keritis—bak talua di ujuang tanduak (telur di ujung tanduk)—yang diprediksi menyembulkan bencana besar semisal cakak banyak (perkelahian masal)—barulah pada situasi krusial itu, pendekar sejati tampil ke muka.
Sebab, pada umumnya para pendekar jarang
sekali terlibat dalam persengketaan. Pasalnya? Mereka saling
segan-menyegani. Bahkan lebih mencukam dari itu, pendekar sebenar
pendekar selalu menggiring anak didiknya agar tidak mancari ilik-ilik
(membuat sengketa) dengan seorang pendekar. Malahan, mereka
menganjurkan anak didiknya agar menyauk ilmu pada pendekar lain.
Sehingga yang bernama anak didik selain mampu menjuluk sepercik ilmu
dari sang guru/pendekar lain tersebut, juga yang namanya interaksi
sosial semakin bertukuk. Tidak saja dengan si guru/pendekar—tapi juga
sesama anak didik. Adagiumnya? Nan tuo dimuliakan; samo gadang lawan baiyo; nan ketek dikasihi
(etika dan estetika pergaulan secara kultural di Minangkabau). Dengan
cara begitu, dapat dihindarkan persengketaan. Perselisihan antara
remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi juga,
mereka akan pergi ke tempat tersuruk (tempat sunyi).
Bandingkan dengan kondisi sosial objektif
kini! Dimana nyaris di tiap kota besar berkecambah tawuran antar
pelajar. Sebut saja di: Jakarta, Jogyakarta, Surabaya, Medan, Pekan
Baru, Padang dan lainnya. Dan, yang membuat kening berkarut-marut, bauji gadang pangka langan
(berkelahi), tidak hanya bernanah-berdarah di kalangan pelajar. Tapi,
para mahasiswa yang nota-bene calon pemimpin masa depan pun hobi bakuhantam
(berkelahi). Bahkan segelintir mereka terjebak melumatkan infrastruktur
berupa labor, ruang kuliah, rektorat, dekanat, perpustakaan dan
lainnya.
Meminjam istilah Budayawan Darman
Moenir—Rujuk ke dadih persoalan! Silat juga punya pelbagai aliran.
Sebut saja Silat (aliran) Lintau, yaitu silat dari Nagari Lintau, Luhak
Nan Tuo, Tanah Data(r); Silat Pau(a)h, yaitu silat dari Nagari Pauh,
Padang. Kecuali itu, ada pula Sitaralak, yaitu jenis silat yang
cenderung pada gerakkan mematikan (mati langkah). Menyelinap pula
perbedaan antara Silat (aliran) Lintau dan Silat (aliran) Pauh. Yang
disebut pertama, mengutamakan keterampilan tangan. Sedangkan yang
dibilang kedua, justru mengandalkan keterampilan kaki.
Sementarapun begitu, pada hakekatnya silat
merupakan seni bela diri. Maksudnya? Sifat kemampuan silat lebih
mengutamakan pertahanan (defensive). Yaitu kemampuan menangkap, menghelak dan menggelek. Jenis tangkap (tangkok):
menggunakan kedua tangan, dengan memfungsikan lengan dengan kiat
mengatukkan siku. Gerakkan lebih lanjut? Dikunci dangan menggunakan
seluruh nggota tangan.
Namun, yang membuat kita terhenyak! Dunia
Silat hanya dikenal di dalam novel. Bagaimana di ranah realita?
Masyarakat, terutama kawula muda—termasuk di kampus, sepertinya lebih
banyak mengenal dunia: karate, judo, kungfu dan sejenisnya!
Back to Surau dan Medan Nan Bapaneh
Bertali-temali dengan itu, agar pekikan hepta (silat) lebih bergaung ketimbang pekikan yaahh (karate, judo dan kungfu) ke depan, bahkan sejak sakarang kini nan-ko (kini juga) dua agenda mendesak agaknya dapat dipikirkan bersama plus dengan semangat kebersamaan (egaliterianisme). Pertama, konsep kembali ke Nagari plus kembali ke surau, banar-benar kita “tunaikan” secara berbenar-benar dan bertanggung-jawab (accountability/mas’uliyah). Sebab, bukankah tempo doeloe,
setelah mengaji, anak surau—tak hanya tidur di surau. Lebih mencukam
dari itu, anak sa(k)sian/murid, juga belajar silat di halaman surau.
Obsesi ini terasa kian menyentaknyaris
membakar ubun-ubun. Soalnya, kalau hanya sekadar retorika dan bumbu
penyedap dalam berpidato terutama oleh segelintir pejabat
politik/publik sejak level provinsi sampai menjamah tingkat
kabupaten/kota, doktrin kembali ke surau itu, secara verbal sudah nyaris
tasondak (melampau) langit ke-tujuh! Di alam kenyataan? Sepertinya masih jauh panggang dari api.
Dan, diprediksi banyak orang—menjelang
Pemilu 2014 yang sudah diambang pintu ini, “lomba pidato” jurkam alias
juru kampanye bertajuk: back to surau tersebut bakal semakin
bersipongang. Bahkan aksentuasinya, tidak saja digelindingkan oleh
jurkam Parpol yang mengusung label Islam, dan atau Parpol berbasis umat
Islam, tapi juga Parpol nasionalis-sekuler yang membuka diri untuk
tokoh dan umat Islam
Kedua, infra-struktur dan muatan
budaya berupa Medan Nan Bapaneh di tiap Ibu Kota Kecamatan yang diretas:
duet Gubernur Zainal Bakar-Fachri Ahmad (priodesasi 2000-2005), agaknya
perlu ditelusur ulang.
Soalnya, selain nyaris roboh secara fisik karena tidak terawat, Medan Nan Bapaneh difungsikan ketika itu sebagai wahana mencikaraui
(mendiskusikan) hal-ihwal sosio-kutural yang menggeliat di bumi
Minangkabau. Sebut saja membincang: adat nan sabana adat; adat nan
diadatkan serta adat ter-adat. Tak terkecuali silat sebagai permainan anak nagari, dan atau seni tradisional seperti yang dihidangkan Harian Haluan sebagaimana disinggung di muka. Semoga!*
Ditulis oleh hirvan zued
Ditulis oleh hirvan zued
Komentar
Posting Komentar