Langsung ke konten utama

Upaya Melestarikan Seni Tradisional Minangkabau

Dikatakan: kesenian Mi­nang­kabau merupakan wari­san yang dapat menyokong dan melengkapi kesenian lain yang banyak berada di Indo­nesia. Aneka kesenian Minang­kabau itu adalah randai, Sepak Rago, gamat, kerawitan dan silat.

Khusus yang disebut peng­gal akhir (silat/silek), mene­lusuri hulu budayanya, silat sebagai sebuah permainan rakyat punya dua peranan—yang saling berjalin-kelindan. (1), sebagai permainan ia dinamakan pencak (2), dan sebagai seni bela diri ia dinamakan silat. Yang disebut pertama,  selain suatu per­mainan, juga sebagai tangga mempelajari silat secara lebih menukik. Sedang pesilat dise­but pandeka (pendekar). Se­mentara pemain pancak disebut anak silek (anak silat). Soalnya, yang menggumuli pencak pada umumnya terdiri dari anak muda. Etika dan Kepribadian Pendekar
Walaupun berdarah muda, seorang pendekar doeloenya kaya etika dan kepribadian. Sebab, adagium klasik me­nukilkan: musuah indak dicari, jikok basuo pantang diilakkan (musuh tidak dicari kalau bertemu pantang dihelakkan).  Dalam cabuah (keonaran) yang berkelabat di sebuah kampung misalnya, seorang pendekar  tangguh tidaklah manyosoh (tampil) ke depan untuk mere­dam konflik. Melainkan mem­biarkan anak sa(k)siannya menyelesaikan kegaduhan tersebut. Walau sebuah kesa­daran menyentak di empulur hati seorang pendekar sejati, bahwa kondisi runyam itu, tidak  segampang membalik telapak tangan mengatasinya.  Hal itu merupakan salah satu kode etik plus satu metode pendidikan (method of edu­cation) pendekar. Bila keadaan telah keritis—bak talua di ujuang tanduak (telur di ujung tanduk)—yang  diprediksi menyembulkan bencana besar semisal cakak banyak (perke­lahian masal)—barulah pada situasi krusial itu, pendekar sejati tampil ke muka.
Sebab, pada umumnya para pendekar jarang sekali terlibat dalam persengketaan. Pasalnya? Mereka saling segan-menyegani. Bahkan lebih mencukam dari itu, pendekar sebenar pendekar selalu menggiring anak didik­nya agar tidak mancari ilik-ilik (membuat sengketa) de­ngan seorang pendekar. Mala­han, mereka menganjurkan anak didiknya agar menyauk ilmu pada pendekar lain. Sehingga yang bernama anak didik selain mampu menjuluk sepercik ilmu dari sang guru/pendekar lain tersebut, juga yang namanya interaksi so­sial semakin bertukuk. Tidak saja dengan si guru/pen­dekar—tapi juga sesama anak didik. Adagiumnya? Nan tuo dimuliakan; samo gadang lawan baiyo; nan ketek dikasihi (etika dan estetika pergaulan secara kultural di Minang­kabau). Dengan cara begitu, dapat dihindarkan perseng­ketaan. Perselisihan antara remaja lazimnya mereka selesaikan sendiri. Jika harus berkelahi juga, mereka akan pergi ke tempat tersuruk (tempat sunyi).
Bandingkan dengan kon­disi sosial objektif kini! Di­mana nyaris di tiap kota besar berkecambah tawuran antar pelajar. Sebut saja di: Jakarta, Jogyakarta, Sura­baya, Medan, Pekan Baru, Padang dan lainnya. Dan, yang membuat kening ber­karut-marut, bauji gadang pangka langan (berkelahi), tidak hanya bernanah-ber­darah di kalangan pelajar. Tapi, para mahasiswa yang nota-bene calon pemimpin masa depan pun hobi baku­hantam (berkelahi). Bahkan segelintir mereka terjebak melumatkan infrastruktur berupa labor, ruang kuliah, rektorat, dekanat, perpus­takaan dan lainnya.
Meminjam istilah Buda­yawan Darman Moenir—Rujuk ke dadih persoalan! Silat juga punya pelbagai aliran.  Sebut saja Silat (aliran) Lintau, yaitu silat dari Nagari Lintau, Luhak Nan Tuo, Tanah Data(r);  Silat Pau(a)h, yaitu silat dari  Nagari Pauh, Padang.  Kecuali itu, ada pula Sitaralak, yaitu jenis silat yang cenderung pada gerakkan mematikan (mati langkah). Menyelinap pula perbedaan antara Silat (ali­ran) Lintau dan Silat (aliran) Pauh. Yang disebut pertama, mengutamakan keterampilan tangan. Sedangkan yang dibi­lang  kedua, justru mengan­dalkan keterampilan kaki.
Sementarapun begitu, pada  hakekatnya silat meru­pakan  seni bela diri. Maksud­nya? Sifat kemampuan silat lebih mengutamakan pertaha­nan (defensive). Yaitu kemam­puan menangkap, menghelak dan menggelek. Jenis tangkap (tangkok): menggunakan ke­dua tangan, dengan memfung­sikan lengan dengan kiat mengatukkan siku. Gerakkan lebih lanjut? Dikunci dangan menggunakan seluruh nggota tangan.
Namun, yang mem­buat kita terhenyak! Dunia Silat hanya dikenal di dalam novel. Bagaimana di ranah realita? Masyarakat, terutama kawula muda—termasuk di kampus, sepertinya lebih banyak mengenal dunia: kara­te, judo, kungfu dan sejenisnya!

Back to Surau dan Medan Nan Bapaneh
medan nan bapaneh

Bertali-temali dengan itu, agar pekikan hepta (silat) lebih bergaung ketimbang pekikan yaahh (karate, judo dan kung­fu) ke depan, bahkan sejak sakarang kini nan-ko (kini juga) dua agenda mendesak agak­nya dapat dipikirkan bersama plus dengan semangat ke­bersamaan (egaliterianisme). Pertama, konsep kembali ke Nagari plus kembali ke surau, banar-benar kita “tunaikan” secara berbenar-benar dan bertanggung-jawab (accoun­tability/mas’uliyah). Sebab, bukankah tempo doeloe, sete­lah mengaji, anak surau—tak hanya tidur di surau. Lebih mencukam dari itu, anak sa(k)sian/murid, juga belajar silat di halaman surau. 
Surau nagari Lubuk Bauk

Obsesi ini terasa kian menyentaknyaris membakar ubun-ubun. Soalnya, kalau hanya sekadar retorika dan bumbu penyedap dalam berpi­dato terutama oleh segelintir pejabat politik/publik sejak level provinsi sampai menja­mah tingkat kabupaten/kota, doktrin kembali ke surau itu, secara verbal sudah nyaris tasondak (melampau) langit ke-tujuh! Di alam kenyataan? Sepertinya masih jauh pang­gang dari api.
Dan, diprediksi banyak orang—menjelang Pemilu 2014 yang sudah diambang pintu ini, “lomba pidato” jurkam alias juru kampanye bertajuk: back to surau terse­but bakal semakin bersi­pongang. Bahkan aksen­tua­sinya, tidak saja dige­lindingkan oleh jurkam Parpol yang mengusung label Islam, dan atau Parpol berbasis umat Islam, tapi juga Parpol nasionalis-sekuler yang mem­buka diri untuk tokoh dan umat Islam
Kedua, infra-struktur dan muatan budaya berupa Medan Nan Bapaneh di tiap Ibu Kota Kecamatan yang diretas: duet Gubernur Zainal Bakar-Fachri Ahmad (priodesasi 2000-2005), agaknya perlu ditelusur ulang.
Soalnya, selain nyaris roboh secara fisik karena tidak terawat, Medan Nan Bapaneh difungsikan ketika itu sebagai wahana mencikaraui (men­diskusikan) hal-ihwal sosio-kutural yang menggeliat di bumi Minangkabau. Sebut saja membincang: adat nan sabana adat; adat nan diadat­kan serta adat ter-adat. Tak terkecuali silat sebagai per­mainan anak nagari, dan atau seni tradisional seperti yang dihidangkan Harian Haluan sebagaimana disinggung di muka. Semoga!*

 Ditulis oleh hirvan zued   

Komentar